01 December 2025

Saudara yang Tersesat di Dalam Rumah

"Lukas 15"
Pengantar: Si Bungsu dan Kakaknya
Ketika kita membaca Perumpamaan Anak yang Hilang (Lukas 15), fokus kita seringkali tertuju pada Si Bungsu—anak yang memberontak, menghamburkan warisannya, dan akhirnya kembali. Namun, mari kita alihkan pandangan kita sejenak kepada Si Sulung.

Inti perumpamaan ini menunjukkan bahwa bukan hanya satu anak yang tersesat, tetapi keduanya. Si Bungsu tersesat karena memilih jalan menjauh dari rumah. Sementara itu, Si Sulung tersesat di dalam rumah.

Paradoks Ketaatan Si Sulung
Bayangkan posisi Si Sulung: Dia adalah anak yang selalu ada, bekerja keras tanpa kenal lelah, setia pada tugas, dan berusaha menjaga kehormatan keluarga. Ketaatannya adalah sebuah prestasi.
Lalu, adiknya yang pemboros dan membawa malu itu kembali. Alih-alih mendapatkan teguran, ia disambut dengan pesta pora, musik, dan kegembiraan besar.

Dari balik pintu, Si Sulung merasakan kemarahan yang mendalam. Ia merasa tidak dihargai, terabaikan, bahkan dikhianati oleh sosok yang ia layani. Ia mempertanyakan: "Selama bertahun-tahun saya patuh dan bekerja keras untuk Ayah. Apa yang saya dapatkan? Mengapa orang yang melanggar justru dirayakan?"
Kemarahannya merupakan ratapan hati yang mendambakan pengakuan dan merasa tidak adil karena pengorbanannya tidak diakui.

Jebakan "Pembenaran Diri"
Kisah Si Sulung menjadi cerminan bagi mereka yang menjalani hidup religius. Ia melambangkan orang yang hidup dalam sistem moral dan hukum, tetapi kehilangan esensi anugerah.
Ia tahu semua aturan Tuhan.

Namun, ia gagal memahami hati Tuhan.
Kesalahan utama Si Sulung bukanlah pemberontakan secara terbuka, melainkan pembenaran diri (self-righteousness). Ia percaya bahwa ia layak mendapatkan kasih dan berkat karena perbuatannya yang baik dan kerja kerasnya. Akibatnya, ia merasa tidak memerlukan kasih karunia atau pengampunan, karena ia menganggap dirinya sudah benar.

Hati yang Menjauh Secara Perlahan
Melalui kisah ini, kita diajak merenung: kita mungkin tidak pernah secara fisik "meninggalkan" Tuhan atau pelayanan, tetapi hati kita bisa menjauh secara perlahan.

Kita mungkin rajin hadir di tempat ibadah, namun kita tidak lagi menikmati hadirat-Nya. Kita sibuk melayani dalam berbagai aktivitas, tetapi hubungan pribadi kita dengan-Nya menjadi kering. Kita fasih membicarakan tentang Tuhan, tetapi jarang meluangkan waktu untuk benar-benar berkomunikasi dengan-Nya.
Hati yang membeku, iman yang mati, dan pelayanan yang terasa menjadi beban adalah akibat dari hilangnya kasih. Kita, yang "tinggal di dalam", juga perlu kembali.

Panggilan Sang Bapa: Fokus pada Relasi
Ayah Si Sulung tidak membiarkannya berdiri di luar. Ia keluar, menghampirinya, dan berujar dengan lembut: "Nak, kamu selalu bersamaku. Segala milikku adalah milikmu." (Lukas 15:31)
Pesan dari perumpamaan ini jelas:
Relasi jauh lebih berharga daripada Prestasi.

Kehadiran dan kedekatan jauh lebih utama daripada Pengakuan atas kerja keras kita.
Mari kita hidup dalam kesadaran akan relasi kita dengan Bapa, bukan hanya berlandaskan peraturan atau prestasi kita. Karena tanpa kasih-Nya, ketaatan kita hanyalah sistem moral yang dingin, dan kita akan menjadi saudara yang tersesat, meskipun kita berada tepat di dalam rumah.